MEDIA ALTERNATIF DI ERA DIGITAL: MELAWAN KAPITALISME MEDIA BARU
Media alternatif sejak lama ditempatkan sebagai media yang memberikan ruang bagi kelompok masyarakat yang termarginalkan dari media arus utama. Media alternatif menjadi medium pembebasan dari kekuasaan otoriter negara dan kapitalis media. Namun tak dapat dipungkiri, dalam menjalankan fungsinya media alternatif sering menghadapi kendala terutama dari sisi modal. Umumnya media alternatif dibangun tanpa mempertimbangkan aspek bisnis (Fuchs, 2010). Akibatnya, mempengaruhi kualitas dan kemampuan distribusi kontennya. Hadirnya media digital (internet) mengatasi persoalan klasik tersebut (Jeppesen, 2016). Media digital menawarkan produksi dan distribusi konten yang relatif murah serta memberi keleluasaan bagi kelompok marginal untuk membangun medianya sendiri (Harlow, 2016). Artikel ini mengulas keberadaan media alternatif di era digital. Bagaimana kehadiran media digital membantu media alternatif menjadi lebih berdaya, namun pada akhirnya melawan bentuk kapitalisme media baru. Untuk menjelaskan pokok pikiran tersebut penulis membagi artikel dalam tiga bagian: pertama, sistem media kapitalis mendorong perlunya media alternatif. Kedua, media alternatif sebagai hegemoni tandingan. Ketiga, media alternatif di era digital melawan kepitalis media baru. Era reformasi memberikan angin segar bagi kehidupan media massa di Indonesia. Perubahan sistem politik otoriter menjadi demokratis, memberikan kebebasan demikian luas dalam pratik media. Puluhan media massa lahir, sementara yang telah ada semakin berkembang melebarkan sayap bisnisnya. Kondisi ini tentu menguntungkan bagi publik, karena konten media kian beragam dan pilihan informasi tak lagi terbatas. Idealnya begitu. Namun yang terjadi jauh panggang dari api. Jika di era otoriter media massa dikontrol oleh negara, maka di era demokrasi media justru tunduk pada hukum pasar. Media di Indonesia masuk pada free market-driven environment (Tapsell, 2015). Liberalisasi media cenderung mendorong kepada konsentrasi kepemilikan media. Terbentuklah kartelisasi kepemilikan media (Tapsel, 2012). Templin (2009) menyebutnya sebagai gejala lahirnya oligopoli media, yakni penguasaan kepemilikan media hanya oleh segelintir pengusaha. Akibatnya, terjadi komersialisasi konten. Menurut Fuchs (2010) komersialisasi menyebabkan konten yang populer dan sesuai selera pasar mendominasi wajah media arus utama. Kondisi yang lebih memprihatinkan adalah kian menguatnya pengaruh kepentingan politik pemilik media dalam kebijakan redaksi (Tapsell, 2012). Croteau dan Hoynes (dalam Rusadi, 2015), menawarkan dua model industri media yaitu model pasar (market model) dan model ruang publik (public sphere model). Model pertama merupakan model dominan dalam industri media. Model yang mendasarkan pada beroperasinya media di pasar bebas. Ukuran kesuksesan media dilihat dari nilai keuntungan yang diperolehnya. Sedangkan model kedua, mengambil ide pemikir neo-Marxis, Habermas, yakni model ruang publik. Ruang publik adalah ruang dimana publik dapat berdialog dengan bebas, maka media ditempatkan sebagai elemen ruang publik yang sehat dengan cara menyediakan wadah sirkulasi yang bebas untuk pertukaran ide, pendapat, dan berbagai pandangan. Sebenarnya tak ada yang salah dengan media model pasar. Dalam model pasar diyakini masyarakat akan dilayani secara optimal jika pertimbangan bisnis diserahkan kepada pasar. Campur tangan negara diharapkan seminimal mungkin, agar terjadi proses pertukaran yang didasarkan pada dinamika permintaan dan penawaran. Kompetisi yang terbuka dan adil diharapkan mendorong efisiensi dan menumbuhkan industri media yang sehat (Armando, 2011). Media yang sehat diharapkan akan melayani publik dengan kontenkonten terbaik. Pada kenyataannya kondisi ideal sulit terjadi. Ketika media tunduk pada hukum pasar, maka yang terjadi adalah kecenderungan menyingkirkan pelaku pasar yang tidak memiliki kapasitas modal memadai, dan mendikte media agar menghidari isu-isu yang tak sesuai dengan kepentingan ekspansi dan akumulasi modal (Hidayat, 2003). Artinya, ketika media hanya mengejar keuntungan, maka konten media akan mengabaikan topik-topik yang dinilai tidak memberikan laba. Terjadilah marginalisasi terhadap tema-tema nonkomersial (edukasi, informasi berkualitas, transformasi nilai luhur, penjaga demokrasi). Habermass (dalam Fuchs, 2010) menyebut gejala ini sebagai kolonisasi ruang publik oleh kekuatan pasar (market imperatives). Inilah yang terjadi saat ini, media dikendalikan oleh ideologi kapitalis (Apuke, 2017). Sitem kapitalis media bekerja dengan melakukan komodifikasi. Komodifikasi menurut Mosco (2009) adalah proses mengubah barang atau jasa, termasuk komunikasi, yang dinilai karena kegunaannya, menjadi komoditas yang dinilai karena apa yang akan mereka berikan di pasar. Komodifikasi terjadi dalam tiga bentuk: komodifikasi isi, khalayak dan pekerja media. Dalam sistem media kapitalis, kita dapat membayangkan bagaimana posisi publik yang hanya ditempatkan sebagai objek dari transaksi bisnis. Hubungan publik dan media tak lebih sebagai konsumen dan produsen. Dalam transaksi bisnis, maka konsumen dengan populasi terbesar akan mendapat perhatian dan layanan terbaik. Pendeknya media hanya berfokus pada selera konsumen terbesar. Selera konsumen minoritas, cenderung diabaikan (Syahputra, 2013). Baker (2007) menyoroti bahaya konsentrasi kepemilikan media pada keragaman isi. Pemusatan kepemilikan media di tangan segelintir konglomerat, mengakibatkan menghilangnya keragaman isi media. Media hanya akan melayani agenda dari sistem ekonomi, politik dan sosial dari kelompok yang memiliki posisi dominan (Ibrahim dan Akhmad, 2014). Kita tak perlu mengambil contoh terlalu jauh. Penelitian Tapsel (2015) memperlihatkan bahwa pemilik media di Indonesia terang-terangan menggunakan medianya untuk membantu aktivitas politiknya. Bagi media keberpihakan terhadap suatu golongan politik membawa dampak buruk terhadap kredibilitasnya. Partisanship dalam media sangat berbahaya, karena akan mengurangi kualitas informasi yang dihasilkan. Media yang bersikap partisan akan kehilangan kepercayaan publik (Yoedtadi dan Pribadi, 2017).
Dalam konteks kuasa media kapitalis, kita dapat mengambil konsep hegemoni dari Gramsci. Secara umum hegemoni dapat didefinisikan sebagai pengaruh, kekuasaan, atau dominasi dari sebuah kelompok sosial terhadap kelompok sosial lain melalui konsensus dan paksaan (Fontana, 2008). Di bawah sebuah budaya hegemonis, sebagian mendapat keuntungan sementara yang lainnya merugi. Publik rentan terhadap pengaruh dari ketidakseimbangan kekuasaan yang sering kali tidak kentara. Maksudnya, orang cenderung untuk mendukung dengan patuh ideologi dominan dari sebuah budaya. Hegemoni dapat dipahami lebih lanjut dengan melihat budaya korporat pada masa kini, dimana – menggunakan pemikiran Marx – ide-ide untuk menguasai adalah ide-ide yang dimiliki oleh kelas yang berkuasa (West dan Turner, 2008). Kelompok dominan dengan mudah melakukan hegemoni. Berpijak pada asumsi Marx bahwa para kapitalis pemilik pabrik yang menguasai alat produksi akan menguasai produksi material, maka para konglomerat yang menguasai media akan menguasai produksi inmaterial, yakni budaya dan intelektual (Erdogan, 2016). Namun tak semua elemen masyarakat menerima hegemoni media kapitalis. Sebagian khalayak yang selama ini kepentingan dan aspirasinya tak terwadahi media arus utama, beralih membangun medianya sendiri (Fuchs, 2010). Inilah yang dinamakan media alternatif. Media alternatif adalah media yang menawarkan demokrasi komunikasi bagi orang-orang yang selama ini dikecualikan dari produksi media (Atton, 2015). Tim O’Sullivan (dalam Ibrahim dan Akhmad, 2014) mendefinisikan media alternatif sebagai bentuk komunikasi massa yang dipandang menolak atau menentang politik yang mapan dan terlembagakan, dalam pengertian bahwa mereka semua menyokong perubahan dalam masyarakat, atau sekurangkurangnya melakukan penilaian kritis terhadap nilai-nilai tradisional. Fuchs (2016) menyebutkan media alternatif adalah produksi dan pengorganisasian media yang menantang media kapitalis. Harlow (2016) mendeskripsikan media alternatif sebagai kekuatan yang membebaskan, memberdayakan dan memberikan suara kepada kelompok yang menderita karena termarjinalisasi dalam wacana hegemonik dari media "borjuis" arus utama. Dalam berbagai momen, media alternatif menjadi kekuatan pro-demokrasi yang bergerak di bawah tanah dan menggalang suara alternatif untuk menumbangkan kekuasaan tiranik (Downing, 2003). Sebagai media perlawanan, media alternatif melawan hegemoni pemberitaan dan sumber berita yang menopang status quo (Ibrahim dan Akhmad, 2014). Sementara Fuchs dan Sandoval (2015) memosisikan media alternatif sebagai media yang menentang pola media kapitalis dalam hal produksi, struktur, isi, distribusi dan cara penerimaan konten. Posisi perlawanan media alternatif dapat kita golongkan sebagai hegemoni tandingan terhadap media arus utama (Fuchs, 2010). Hegemoni tandingan menunjukkan bahwa khalayak tidak selamanya diam dan menurut. Khalayak tidak selalu tertipu untuk menerima dan mempercayai apa pun yang diberikan oleh kekuatan yang dominan. Mereka menggunakan praktik-praktik hegemonik yang sama untuk menantang dominasi yang ada (West dan Turner, 2008).
Kendala yang sering dihadapi oleh media alternatif adalah faktor modal. Seringkali mereka didirikan dan dikelola tanpa modal memadai. Prinsip media alternatif menentang cara media kapitalis beroperasi justru menggerogoti daya hidupnya (Fucs, 2010). Padahal tanpa modal, media alternatif hanya akan mengeksploitasi pengelolanya, berkutat pada teknik produksi berbiaya rendah, dan kesulitan dalam menjangkau khalayak luas (Holt, 2018). Kehadiran media digital (internet) mengatasi persoalan teknikal dan kapital yang sering membelit media alternatif. Internet memberi kemudahan dalam memproduksi konten baik dari segi biaya dan kapabilitas(Fuchs dan Sandoval, 2015). Internet memungkinkan khalayak memproduksi kontennya dan mendistribusikan secara luas (Gehl, 2015). Keterbatasan modal yang seringkali dihadapi media alternatif; seperti kekurangan biaya cetak, ketiadaan dana membeli teknologi televisi dan radio, dapat diatasi dengan menggunakan medium internet (Jeppesen, 2016). Kemungkinan membangun media alternatif semakin terbuka dengan teknologi internet Web 2.0 yang memberi peluang khalayak menjadi produsen konten (publisher) dengan konsep user generated content (UGC). UGC adalah terminologi untuk menunjukkan keleluasaan khalayak memproduksi, merekayasa dan mendistribusikan kontennya (Kaplan & Hainlein, 2010). Menarik disimak adalah media alternatif dengan platform media sosial, antara lain Facebook dan Twitter. Keduanya selain menjadi media publikasi kelompok marginal, juga digunakan sebagai instrumen komunikasi para aktivis politik. Penelitian Lim (2012) menunjukkan bahwa Facebook menjadi sarana komunikasi daring para pengunjuk rasa di Mesir saat terjadi protes “Musim Semi Arab”. Studi Harlow (2012) memperlihatkan bahwa Facebook telah memainkan peran sentral dalam berbagai gerakan di Guatemala, Amerika Latin. Demikian halnya Twitter yang menyatukan para aktivis politik pada “Gerakan Taman Gezi” di Turkey (Dermihan, 2014). Dalam perkembangannya, media sosial tak hanya menarik publik ke dalam sistem media demokratis, tetapi menarik perhatian para kapitalis untuk mengeksploitasi keuntungan di dalam pasar media baru (Gehl, 2015). Facebook, Instagram, Twitter dan berbagai aplikasi berbasis Web 2.0 telah memancing datangnya investor untuk menaikkan valuasi perusahaan menjadi miliaran dollar. Pada akhirnya, tak jauh berbeda dengan media arus utama, media sosial menjadi korporasi pencari laba (Fuchs, 2017). Mereka memanfaatkan partisipasi publik yang secara sukarela mengunggah data pribadi, kreasi konten dan berbagai macam foto, video hasil olahan pengguna menjadi komoditas isi media (Allmer, 2015). User generated data merupakan tambang uang bagi media sosial korporasi (Corporate Social Media/CSM) (Gehl dan Synder, 2016). Terjadilah eksploitasi tenaga kerja sebagaimana praktik komodifikasi pekerja media kapitalis. Para pengguna media sosial menghabiskan sumber daya tenaga dan pikiran untuk membuat konten tanpa mendapatkan upah (free labor). Fuchs (2017) menggolongkan praktik ekonomi media sosial sebagai bentuk eksploitasi total terhadap kreasi manusia. Lebih dari itu, media sosial secara bebas melakukan pamantauan terhadap aktivitas penggunanya. Data perilaku pengguna dijadikan target iklan (targeted ads) oleh para pemasar yang membayar mahal CSM. Inilah yang disebut sebagai surveillance capitalism. Zuboff (dalam Sudibyo, 2019) menggambarkan surveillance capitalism sebagai kapitalisme baru yang mendasarkan diri pada tindakan atau proses pengawasan terhadap masyarakat pengguna internet. Data perilaku pengguna berupa prediksi perilaku menjadi komoditas layak jual kepada pengiklan. Surplus perilaku menghasilkan bentuk pertukaran baru dalam bisnis digital (Sudibyo, 2019). CSM mengandalkan bentuk transaksi sebagai berikut: pengguna memberikan informasi pribadi dan tenaga kerja gratis, sebagai gantinya CSM memberi akses. Meskipun pengguna memiliki akses, namun data dari perilaku pengguna akan dimanfaatkan sebagai pesan pemasaran. Oleh karena itu, pemasar produk dan pengiklan adalah penerima manfaat utama tenaga kerja gratis CSM (Gehl, 2016). Pengguna hanya menjadi produk atau komoditas yang diperdagangkan (Kang dan McAllister, 2011). Dalam kondisi demikian memang tak banyak pilihan yang tersedia. Gehl (2015) menyarankan agar aktivis media alternatif menggunakan media sosial alternatif (alternative social media/ASM). ASM merupakan sistem media sosial baru yang mereplikasi fitur positif dan menghapus fitur negatif CSM. ASM hadir sebagai jawaban atas kritik terhadap CSM, yaitu praktik pengawasan mereka, pemanfaatan data pengguna, prioritas pada pesan pemasaran, dan algoritma yang mengatur bentuk sosialisasi para penggunanya (Gehl, 2017). ASM antara lain GNU social, Galaxy2, Diaspora, Twister, Ello dan Lorea, tidak melakukan sentralisasi mesin, aktivitas pemantauan dan koleksi data pengguna. Pengguna dapat menjalankan ASM di servernya masing-masing, atau mendaftar di server yang dijalankan oleh seseorang yang dipercaya. Pengguna dapat berkomunikasi satu sama lain di seluruh server yang menggunakan protokol dengan perangkat lunak ASM (Gehl, 2017). ASM menurut Gehl dan Synder (2016) menolak iklan dan pemasaran produk karena ingin bersikap independen dan membebaskan pengguna dari kepentingan komersial. Artinya, mereka tidak menerima seluruh infrastruktur yang mendukung periklanan, termasuk pelacakan lintas situs (cross-site tracking), memprofilkan pengguna (behavioral profiling), dan logika pemantauan pemasaran (the logic of marketing surveillance). ASM memang tidak sepopuler CSM. Jumlah penggunanya relatif kecil dibandingkan CSM. GNU Social memiliki 25.823 pengguna, Twister 80.493 pengguna, Diaspora 602.795 pengguna, dan Ello di atas 2.000.000 pengguna (Gehl, 2017). Namun demikian, dengan adanya ASM setidaknya aktivis media alternatif telah memiliki platform yang terbebas dari dominasi kapitalis dan komersialisasi media.